NGOPIHOLIC. Diberdayakan oleh Blogger.

THE NGOPIHOLIC

Selasa, 28 Mei 2013

Perang Surabaya 10 November 1945

Yuk, di Share! :



 


Peristiwa 10 november merupakan sejarah perang antara Indonesia dan Belanda. Pada 1 Maret 1942 tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa dan tujuh hari kemudian tepatnya 8 Maret, pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu Indonesia diduduki oleh Jepang.

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkan bom atom (oleh Amerika Serikat) di Hirosima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 1945. Mengisi kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamasikan kemedekaannya pada 17 Agustus 1945. Sebelum dilucuti oleh sekutu, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para tentara jepang. Maka timbulah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah. Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris didatangkan di Indonesia atas keputusan dan atas nama sekutu, dengan tugas untuk melucuti tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara Jepang ke negerinya. Tetapi selain itu, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya. NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pun membonceng. Itulah yang meledakan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.

Di Surabaya, dikibarkannya bendera Belanda, merah-putih-biru, di Hotel Yamato, telah melahirkan insiden tunjungan, yang menyulut berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat. Bentrokan-bentrokan bersenjata dengan tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby (pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober.

Tentara pejuang Suroboyo

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh) mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya. Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melakukan dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945. 

Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri (walaupun baru saja diproklamasikan), dan tentara keamanan rakyat (TKR) sebagai alat Negara juga telah dibentuk. 

Selain itu, banyak sekali Organisasi perjuangan yang telah dibentuk masyarakat, termasuk si kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela Republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia). 

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dasyat sekali, dengan mengerahkan sekitar 30.000 serdau, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal perang. 

Berbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi buta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka. Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkorban di selur kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. 

Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukan dalam tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak. 

Namun diluar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama’ serat kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asyiari, KH. Wahab Hasbuullaah serta kyai-kyai pesantren lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh dan taat kepada para kyai) juga ada pelopor muda seperti Bung Tomo dan lainnya. Sehinnga perlawanan itu bisa bertahan lama, berlangsung dari hari ke hari, dan hari Minggu ke Minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoodinasi, makin hari makin teratur. Pertempuan besar-besaran ini memakan waktu smpai 1 bulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak Inggris. 

Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai HARI PAHLAWAN.


Penulis:

Baca Yang Lain, Yuk!

0 komentar:

Posting Komentar